PRESS RELEASE
Kondisi Industri Besi dan Baja Nasional Pasca Pengesahaan PP UU Cipta KerjaPengesahan beberapa Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2021 sebagai peraturan pelaksana atas UU Cipta Kerja memberikan harapan sekaligus menjadi tantangan bagi Industri Besi dan Baja Nasional. Melalui penerbitan beberapa PP tersebut, Industri Besi dan Baja Nasional mendapatkan berbagai dukungan sehingga berpotensi untuk dapat berkembang lebih baik, namun demikian juga muncul tantangan yang justru juga berpotensi berdampak negatif terhadap Industri Besi dan Baja Nasional.Jakarta (02/03). Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 2 Februari 2021, beberapa PP telah diterbitkan sebagai peraturan pelaksanaan atas UU Cipta Kerja yang memiliki dampak luas kepada Industri Besi dan Baja Nasional. Terbitnya PP tersebut disambut dengan penuh harapan sekaligus kekhawatiran oleh pelaku Industri Besi dan Baja Nasional.Direktur Eksekutif IISIA, Widodo Setiadarmadji, menyampaikan bahwa Industri Besi dan Baja Nasional mendapatkan kado istimewa melalui PP 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Slag baja yang telah bertahun-tahun diperjuangkan oleh IISIA agar dapat dikeluarkan dari kelompok limbah B3 akhirnya disetujui pemerintah untuk di kategorikan menjadi limbah non B3. Selain itu, beberapa produk samping lainnya seperti mill scale, debu EAF, PS ball juga telah dikategorikan menjadi limbah non B3 meskipun masih terdapat beberapa pengecualian. Keputusan ini merupakan bentuk dukungan nyata dari Pemerintah bagi Industri Besi dan Baja Nasional.Widodo juga menyampaikan bahwa selain dukungan melalui PP 22 Tahun 2021, Industri Baja Nasional juga mendapatkan dukungan melalui PP 28 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian. Dalam PP ini Pemerintah kembali memberikan dukungan melalui penetapan terak, kerak dan skrap baja sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. IISIA berharap dengan penepatan sebagai bahan baku industri maka produk samping yang dihasilkan Industri Besi dan Baja Nasional dapat dimanfaatkan secara lebih maksimal sehingga menjadi pendorong daya saing. Selanjutnya juga muncul harapan agar dengan keputusan ini pelaksanaan impor skrap baja selaku Bahan Baku Industri Besi dan Baja Nasional juga menjadi semakin mudah. Melalui PP tersebut juga diharapkan bahwa berbagai kebijakan di bidang industri besi dan baja akan ditetapkan berdasarkan Neraca Komoditas Baja Nasional sehingga kebijakan Pemerintah benar-benar akan didasarkan pada kemampuan Industri Besi dan Baja Nasional. Penerapan Neraca Komoditas Baja Nasional juga akan dapat mendorong penggunaan produk baja lokal dalam proyek-proyek nasional melalui program TKDN. Neraca Komoditas ini juga dipercayai IISIA akan dapat mengendalikan impor secara lebih baik setelah melalui kebijakan impor yang tepat pada tahun 2020 yang dilakukan Kementerian Perindustrian, volume importasi baja mengalami penurunan sebesar 36% dibandingkan dengan tahun 2019. Penurunan ini telah berdampak pada peningkatan produksi baja nasional sebesar 20%. Dengan demikian maka utilisasi kapasitas produksi baja nasional mengalami peningkatan pada tahun 2020. IISIA sangat berterima kasih dan memberikan apresiasi kepada Pemerintah atas kinerja positif ini yang terjadi justru di tengah pendemi COVID-19.Serangkaian dukungan Pemerintah melalui PP di atas merupakan dukungan lebih lanjut yang telah diberikan Pemerintah kepada Industri Besi dan Baja Nasional melalui penetapan harga gas khusus sebesar USD 6 per MMBTU dan relaksasi batas minimum kontrak listrik yang telah memberikan dukungan luar biasa. Dukungan ini telah mengakibatkan Industri Besi dan Baja Nasional dapat meningkat daya saing global sehingga pada tahun 2020 ekspor produk baja meningkat signifikan sebesar 7%. Permohonan Dukungan Lebih LanjutDitengah berbagai dukungan yang diberikan Pemerintah tersebut IISIA melihat adanya ancaman yang dihadapi industri baja khususnya terkait dengan Penerbitan PP 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja. Impor baja khususnya produk pelat yang membanjiri Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Kawasan Bebas) Batam terus meningkat sepanjang tahun 2015-2019 akibat pembebasan bea masuk, di mana di dalamnya termasuk bea masuk anti dumping (BMAD), bea masuk imbalan (BMI), bea masuk pengamanan perdagangan (BMTP) dan bea masuk pembalasan.“Sejak 2015, impor di Kawasan Bebas Batam terus naik, hal ini yang menjadi kekhawatiran rekan-rekan industri baja di Indonesia, terutama produsen baja untuk galangan kapal, terutama setelah diberlakukannya PP No. 41 Tahun 2021 pada Februari 2021,” jelas Widodo.Pemerintah sebenarnya telah mengenakan BMAD terhadap pelat baja asal Tiongkok, Singapura, dan Ukraina sejak 2012 (diperpanjang 3 kali hingga berlaku sampai 2024), namun pengenaan BMAD ini tidak dapat dikenakan di Kawasan Bebas Batam karena terbentur dengan PP No. 10 Tahun 2012 yang kemudian diperbarui dengan PP No. 41 Tahun 2021. Impor baja dari Tiongkok, Singapura, dan Ukraina adalah impor baja yang mendominasi Kawasan Bebas Batam. “Data dari BPS menyebutkan bahwa dari tahun 2015, impor pelat baja di Batam terus mengalami kenaikan. Sejak tahun 2015 hingga 2019, permintaan kebutuhan baja di Batam terus meningkat dari 107.000 ton di 2015 menjadi 400.000 ton di 2019. Porsi produk baja domestik hanya mampu mengisi 96.000 ton di 2019 di mana selebihnya 76% baja impor menguasai pangsa pasar Batam dengan total 304.000 ton dari total keseluruhan kebutuhan baja. Sementara dari jumlah baja yang diimpor di 2019, 68%-nya merupakan baja yang berasal dari negara yang melakukan dumping,” lanjut Widodo.Secara keseluruhan, menurut data Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), konsumsi baja Indonesia pada semester I 2020 di awal masa pandemi sebesar 5,9 juta ton, dimana mengalami penurunan sebesar 18% dari tahun 2019 (y-o-y). Selama tahun 2020, volume importasi baja karbon masih tinggi mencapai 3,11 juta ton, walaupun mengalami penurunan sebesar 27% (y-o-y) dari tahun sebelumnya sebesar 4,24 juta ton. Begitupun juga untuk importasi baja paduan mencapai 1,36 juta ton (30% dari total impor). Importasi baja paduan yang mencapai 30% dari total impor masih melebihi kebutuhan baja paduan untuk industri dalam negeri yang hanya sekitar 10%.Widodo mengatakan, dumping adalah praktik yang tidak diperbolehkan oleh hukum dagang internasional. Masuknya baja impor ke Kawasan Bebas Batam harus tetap diawasi agar tidak keluar produknya untuk kembali dijual di wilayah Indonesia. Pihak yang berwenang wajib menjaga ini karena jika baja impor masuk ke wilayah Indonesia tanpa membayar pabean dan pajak yang berlaku, maka itu adalah perbuatan melanggar hukum.Pengendalian atau pengetatan importasi produk besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya dapat dilakukan dengan tidak diberikannya rekomendasi/Pertek maupun Surat Persetujuan Impor (SPI) untuk produk besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya yang bisa diproduksi oleh produsen dalam negeri serta produk baja impor yang masuk dengan cara unfair trade seperti dumping dan circumvention. Selain itu, pemerintah juga dapat meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan produk barang impor secara ketat di pelabuhan kedatangan, khususnya produk baja impor paduan dari Tiongkok. “Dalam kasus pada Kawasan Bebas Batam, maka ketiga negara yang dianggap melakukan praktik dumping, yaitu Tiongkok, Singapura, dan Ukraina, sebaiknya dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Jika memang terbukti, maka kami harap pemerintah dapat mengambil tindakan, sehingga industri baja nasional, terutama 278 produsen galangan kapal di Indonesia, termasuk 47 produsen yang ada di Batam dapat terbantu,” papar Widodo. Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menyataan bahwa, Krakatau Steel sepanjang 2020 berusaha untuk semakin kompetitif seiring dengan upaya perbaikan kinerja perusahaan. “Selisih harga produk baja Krakatau Steel dengan impor sekarang sudah semakin berkurang. Hal ini karena upaya penghematan dan efisiensi yang telah dilakukan oleh manajemen perusahaan saat ini dalam posisi yang jauh lebih baik,” tutur Silmy. Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, Krakatau Steel telah melakukan transformasi bisnis dan berhasil melakukan restrukturisasi hutang yang berpengaruh pada peningkatan kinerja di tahun 2020. Bahkan Krakatau Steel telah mampu melakukan ekspor baja ke Malaysia dan ke Uni Eropa. Hal ini membuktikan bahwa harga dan kualitas baja Krakatau Steel dapat bersaing dan menembus pasar internasional. “Kondisi di Kawasan Bebas Batam ini mengkhawatirkan karena tingkat utilisasi kapasitas industri baja nasional masih rendah yaitu rata-rata 43%. Semoga pemerintah dapat kembali mengkaji peraturan tersebut sebagai bentuk keberpihakan kepada industri baja nasional sesuai dengan komitmen Menteri Perdagangan RI yang akan menurunkan impor baja sampai 50%,” pungkas Silmy. Di tengah tantangan dan harapan atas penerbitan PP UU Cipta Kerja, IISIA percaya bahwa dengan dukungan Pemerintah lebih lanjut melalui revisi atau perubahan ketentuan dalam PP 41 Tahun 2021 serta penerbitan peraturan pelaksana PP lainnya yang lebih mendukung, kinerja Industri Besi dan Baja Nasional akan semakin lebih baik lagi di masa yang akan datang. IISIA menyampaikan apresiasi dan terimakasih atas semua dukungan yang telah diberikan oleh Pemerintah dan mengharapkan berbagai langkah dukungan lebih lanjut agar Indusri Besi dan Baja Nasional dapat terus berkembang untuk dapat berkontribusi lebih lanjut bagi pembangunan nasional.Untuk informasi lebih lanjut, harap menghubungi:
Widodo SetiadarmajiExecutive Director IISIAHP. 0811 1206 954Email: widodo.setiadarmaji@gmail.com
Tuti RachmawatiSecretary of Executive Committee IISIAHP. 0818 602 826Email: tuti.rachmawati@krakatausteel.com