Trade Remedies: Harapan bagi Industri Besi dan Baja Nasional
Sumber: IISIABerdasarkan data World Trade Organization (WTO) tahun 2020, penerapan instrumen trade remedies—anti-dumping, anti-imbalan/countervail, dan safeguard—untuk produk besi dan baja menunjukkan tren peningkatan selama periode 2010-2019, meskipun dalam 2 tahun terakhir mengalami sedikit penurunan (Gambar 1). Kecenderungan peningkatan ini memberikan gambaran bahwa trade remedies telah menjadi instrumen pilihan bagi beberapa negara untuk memberikan perlindungan bagi industri besi dan baja masing-masing dari praktik perdagangan yang dianggap tidak adil (unfair trade practices). Di samping itu, peningkatan penggunaan instrumen trade remedies juga mengindikasikan masih marak dan masifnya praktik perdagangan tidak adil yang dilakukan oleh beberapa negara eksportir besi dan baja.
Gambar 1. Penggunaan Instrumen Trade Remedies untuk Produk Besi dan Baja (Sumber:WTO, 2020; Direktorat Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan RI)
Mengapa Diperlukan Kebijakan Trade Remedies?
Industri besi dan baja merupakan industri yang memiliki sejarah panjang campur tangan pemerintah mengingat statusnya sebagai mother of industries dan berperan penting dalam industri pertahanan. Bentuk-bentuk campur tangan pemerintah tersebut disajikan pada Gambar 2. Pemerintah Tiongkok memberikan berbagai jenis subsidi; energy subsidies, loan interest subsidies, direct financial grant, direct cash grants, equity infusion, tax break, tax rebate, dan land acquisition. Negara lainnya, seperti Amerika Serikat, India, Kanada, Italia, Belgia, Inggris dan Turki, juga melakukan campur tangan dalam bentuk import duty, tax incentives, low interest loan dan bahkan paket dukungan finansial untuk penyelamatan industri besi dan bajanya.
Gambar 2. Dukungan Pemerintah Mancanegara pada Industri Besi dan Baja
Beragam jenis campur tangan pemerintah sebagaimana dijelaskan di atas telah menjadikan persaingan industri besi dan baja bukan lagi persaingan pasar normal namun merupakan persaingan yang sudah terdistorsi. Persaingan industri besi dan baja global sudah menjadi persaingan kebijakan antar pemerintah dan bukan persaingan daya saing antar perusahaan sebagaimana terjadi dalam mekanisme kompetisi pasar yang wajar (Gambar 3).
Gambar 3. Kondisi Aktual Persaingan Pasar Baja Global
Selain kondisi persaingan pasar yang terdistorsi, industri besi dan baja nasional juga menghadapi liberalisasi perdagangan yang ditandai dengan perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan berbagai negara baik yang bersifat bilateral maupun multilateral, seperti; Common Effective Prefential Tariff – ASEAN Free Trade Agreement/CEPT–AFTA, Indonesia–Japan Economic Partnership Agreement/IJ–EPA, ASEAN Free Trade Agreement/ASEAN-FTA dengan Tiongkok/AC-FTA, Korea Selatan/AK-FTA, Selandia Baru/ANZ-FTA, India/AI-FTA dan negara-negara lain. Perjanjian tersebut berdampak terhadap penurunan Tarif Bea Masuk (TBM) dari Most Favorable Nation (MFN) hingga 0%. Padahal, sebagaimana telah diketahui, tujuan pokok dari jenis tarif apa pun yang digunakan adalah untuk melindungi pasar dalam negeri dari serbuan barang-barang impor. Dengan demikian maka bea masuk menjadi tidak efektif untuk melindungan industri besi dan baja nasional dari impor produk besi dan baja bersubsidi dan/atau mendapatkan dukungan pemerintah negara pengekspor. Oleh karena itu maka diperlukan instrumen kebijakan trade remedies (Gambar 4).
Gambar 4. Peranan Trade Remedies setelah Free Trade Agreements
Perkembangan Penggunaan Instrumen Trade Remedies Secara Global
Sepanjang kurun waktu 1995-2019, Amerika Serikat, kawasan Uni Eropa, Kanada, Meksiko, Australia, India, Argentina, Brasil, Thailand, dan Indonesia adalah 10 negara yang secara aktif menggunakan instrumen trade remedies (Gambar 5). Namun demikian, jika dilihat lebih lanjut maka penggunaan trade remedies oleh Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Amerika Serikat, Kawasan Uni Eropa dan beberapa negara lainnya. Padahal, industri besi dan baja Indonesia berada pada kondisi yang jauh lebih memprihatinkan. Amerika Serikat dan Uni Eropa masing masing menggunakan instrumen trade remedies sebanyak 351 dan 149 sedangkan Indonesia baru mencapai 43. Kalau kita perhatikan kondisi industri besi dan baja di Amerika Serikat dan Uni Eropa maka porsi volume impor masing-masing “hanya” mencapai 25% dan 23% dengan tingkat utilisasi lebih dari 71% dan 80%. Sedangkan di Indonesia, volume impor mencapai lebih dari 50% dengan tingkat utilisasi industri besi dan baja nasional secara keseluruhan di bawah 50%, jauh dari tingkat utilisasi kapasitas produksi ideal sebesar minimum 80% yang merupakan tingkat utilisasi untuk menghasilkan sustainable profitability. Hal ini secara tidak langsung memberikan gambaran bahwa Amerika Serikat dan Uni Eropa yang merupakan champion perdagangan bebas ternyata bersikap lebih protektif dalam melindungi industri besi dan baja masing-masing. Industri besi dan baja yang sudah mature dengan sejarah panjang ratusan tahun dan menggunakan teknologi paling modern di negara-negara maju tersebutpun ternyata tidak mampu bersaing dengan produk bersubsidi dan/atau mendapatkan dukungan pemerintah negara pengekspor. Gambar 5 Penggunaan Instrumen Trade Remedies pada Produk Besi dan Baja (Sumber: WTO, 2020; Direktorat Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan RI)
Harapan Industri Besi dan Baja Nasional
Sebagaimana telah dibahas di atas, penggunaan instrumen trade remedies untuk perlindungan industri besi dan baja dari praktik perdagangan tidak adil telah dipergunakan secara luas dan dengan kecenderungan yang terus meningkat. Penggunaan instrumen ini secara intensif justru dilakukan oleh beberapa negara maju pendorong perdagangan bebas, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang memiliki industri baja besar dan modern yang telah mengakar, mapan dan berkembang selama ratusan tahun. Indonesia pada saat ini sedang dalam tahap pengembangan industri besi dan baja nasional yang diharapkan akan menjadi tulang punggung pembangunan industri nasional khususnya untuk mendukung pencapainan target Indonesia menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke 4 di dunia pada tahun 2050. Ketersedian baja menjadi syarat mutlak bagi pembangunan infrastruktur dan industri nasional yang merupakan salah satu pilar pengembangan ekonomi nasional tersebut. Kebutuhan baja dipastikan akan tumbuh berlipat ganda sebagaimana pertumbuhan yang terjadi di India dan China. Namun demikian, kondisi industri besi dan baja saat ini masih dalam keadaan memprihatinkan dengan pangsa pasar domestik dikuasai oleh produk impor dan utilisasi industri baja yang masih sangat rendah, di bawah 50%. Dalam kondisi ini, instrumen trade remedies menjadi sangat penting dan menjadi prasyarat bagi industri besi dan baja nasional agar dapat bertahan dan terus tumbuh berkembang. Tanpa kebijakan penerapan trade remedies yang tepat dan efektif maka akan sangat sulit bagi industri besi dan baja nasional untuk dapat bersaing secara adil dengan produk impor. Produsen baja besar dan modern di negara-negara maju juga membutuhkan dukungan kebijakan trade remedies. Dalam upaya penerapan trade remedies yang lebih tepat dan efektif maka IISIA mengharapkan dukungan pemerintah untuk dapat melaksanakan hal-hal sebagai berikut;- Mempermudah ketentuan dan mempercepat proses penetapan kebijakan trade remedies sehingga sesuai dengan kebutuhan industri besi dan baja nasional. Saat ini, proses pengajuan trade remedies hingga penetapan kebijakan memakan waktu cukup lama. Kebijakan anti-dumping membutuhkan waktu 12 hingga 18 bulan atau tepatnya 365 – 548 hari. Hal ini mengakibatkan permasalahan saat ini akan mendapatkan solusi 1 tahun kemudian atau bahkan lebih sehingga industri baja sudah mengalami kerugian yang cukup lama. Penggunaan instrumen Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) perlu menjadi salah satu opsi yang dapat dijalankan dengan efektif.- Industri besi dan baja nasional banyak dikenakan tuduhan anti-subsidi dari negara lain, namun Pemerintah Indonesia belum pernah menggunakan kebijakan anti-subsidi kepada negara lain. Padahal, banyak negara lain yang memberikan berbagai macam subsidi kepada industri besi dan bajanya. Kebijakan anti-subsidi diharapkan dapat diterapkan sebagai salah satu instrumen dukungan pemerintah terhadap industri baja nasional dari pratik perdagangan tidak adil.- Meningkatkan efektifitas kebijakan trade remedies melalui perluasan cakupan produk dan tarif yang lebih sesuai serta penggunaan klausul pengecualian secara lebih terbatas, cermat dan tepat sasaran. Tanpa cakupan produk, tarif, dan klausul pengecualian yang tepat maka kebijakan trade remedies tidak dapat berjalan dengan efektif.- Pemberlakuan kebijakan trade remedies di seluruh wilayah Indonesia termasuk pada Kawasan Ekonomi Khusus. Pengecualian pemberlakukan trade remedies di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam telah mengakibatkan pasar pelat baja di Batam dikuasai oleh produk-produk dari negara yang telah dikenakan kebijakan anti-dumping dan berdampak negatif pada industri pelat baja nasional. - Pengembangan sistem monitoring impor baja dalam rangka memonitor dan mengendalikan impor baja secara efektif, sebagaimana telah diterapkan oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa dan India.- Pembentukan gugus tugas industri baja nasional lintas kementrian dan lembaga pemerintah lainnya agar dapat dilakukan pengambilan kebijakan trade remedies dan kebijakan lainnya secara cepat dan tepat dalam rangka perlindungan industri baja nasional dari produk impor yang dilakukan secara tidak adil, termasuk circumvention.
Penerapan kebijakan trade remedies secara cepat dan efektif akan menjadi langkah penting yang memberikan harapan bagi tumbuh dan berkembangnya industri besi dan baja nasional dalam rangka mendukung pertumbuhan dan kemandirian perekonomian nasional, khususnya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar nomor 4 di dunia pada tahun 2050.