PRESS RELEASE
Serangan Impor Baja Menjadi Isu Keamanan Nasional AS, Joe Biden Berlakukan Perlindungan. Bagaimana dengan Indonesia?
Jakarta (06/10) – Industri baja merupakan salah satu industri yang memiliki posisi sangat strategis bagi kemajuan suatu negara. Sebagai induk dari segala jenis industri (mother of industry), industri baja yang termasuk ke dalam industri hulu dan bagian dari industri logam dasar memiliki peran utama dalam memasok bahan baku vital ke berbagai bidang industri lainnya. Atas perannya yang sangat penting tersebut, negara-negara dunia melakukan perlindungan terhadap industri bajanya, termasuk Amerika Serikat (AS).
Menteri Perdagangan AS, Gina Raimondo memberikan penegasan bahwa melindungi industri baja merupakan masalah keamanan negara AS. Kebijakan ini bahkan telah dimulai sejak jaman Pemerintahan Presiden Donald J. Trump yang termuat dalam section 232 of The Trade Expansion Act of 1962 as amended (19 U.S.C. 1862), dimana di dalamnya mengatur kebijakan penerapan pajak impor sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk alumunium yang diberlakukan sejak Maret 2018 untuk seluruh negara termasuk diberlakukan bagi Uni Eropa (UE).
Sejalan dengan AS, UE juga menetapkan tarif pada sejumlah produk impor baja dari AS dan berencana untuk menaikannya kembali, meskipun hingga saat ini rencana tersebut masih tertunda guna memberikan kesempatan untuk menyelesaikan perselisihan terkait tarif bea masuk antara AS dan UE. Menyikapi hal ini, Gina Raimondo menyampaikan “Kami ingin mencari solusi namun AS juga perlu melindungi industri baja dalam negerinya dimana sebelum tarif bea masuk diberlakukan oleh AS, utilisasi industri baja AS tidak pernah di atas 80 persen. Hal tersebut adalah risiko keamanan nasional, ini adalah risiko ekonomi” ujarnya.
Para pejabat UE menyampaikan bahwa UE bukan ancaman keamanan nasional bagi AS, meskipun mereka telah mengakui bahwa kelebihan kapasitas global terutama baja dari China mengancam industri baja UE dan AS. Pejabat UE yang pada awalnya berharap penghapusan tarif tanpa adanya timbal balik, akhirnya siap mempertimbangkan solusi-solusi lainnya dan memahami fakta bahwa AS juga harus melindungi industri bajanya.
Tidak hanya melakukan perlindungan industri baja melalui pengenaan tarif impor, pemerintah AS, termasuk UE juga secara agresif memberikan perlindungan melalui penggunaan instrumen trade remedies melalui Anti-Dumping, Anti Subsidi dan Safeguards. Berdasarkan data World Trade Organization (WTO) tahun 2021, AS dan UE merupakan negara-negara pengguna instrumen trade remedies untuk perlindungan industri baja (HS 72-73) dengan masing-masing tercatat pernah menerapkan 138 instrumen oleh AS dan 77 instrumen oleh UE.
Chairman Asosiasi Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), Silmy Karim menyatakan bahwa perlindungan atas industri, khususnya industri baja saat ini telah merubah paradigma persaingan pasar di bisnis industri baja, dimana sebelumnya persaingan antar perusahaan baja berubah menjadi persaingan kebijakan dari pemerintah di masing-masing negara. “Kebijakan yang diambil Pemerintah AS dan UE dilakukan untuk melindungi industri baja dalam negeri, dimana tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan ekonomi negara. Kebijakan tersebut diharapkan dapat diterapkan juga di Indonesia, mengingat hal tersebut sejalan dengan arahan Bapak Presiden RI pada saat acara peresmian pabrik baru milik PT Krakatau Steel (Persero) Tbk pada 21 September 2021 di Cilegon, Banten”, ujarnya.
“Dengan beroperasinya pabrik ini, kita akan dapat memenuhi kebutuhan baja dalam negeri. Jadi, enggak ada lagi impor-impor yang kita lakukan. Ini yang kita harapkan, sehingga sekali lagi akan menekan angka impor baja negara kita yang saat ini berada pada peringkat kedua komoditas impor Indonesia”. (Ir. Joko Widodo - Presiden RI)
Silmy juga menambahkan bahwa IISIA sangat mengapresiasi arahan yang disampaikan Bapak Presiden RI tersebut dan diharapkan dapat menjadi komitmen seluruh pihak. “Kami sangat mengapresiasi arahan Bapak Presiden RI atas pelarangan impor baja yang sudah dapat dipenuhi oleh produsen baja nasional. Kami harap hal ini dapat menjadi komitmen bersama, baik bagi seluruh produsen baja nasional maupun Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakannya demi terwujudnya kemandirian industri di Indonesia”, tambah Silmy.
Lebih lanjut Silmy menyatakan bahwa kebijakan terkait tata niaga impor yang telah diterapkan saat ini harus disertai dengan upaya perlindungan seperti halnya komitmen Pemerintah AS dan UE dalam memperjuangkan industri baja domestiknya. Pemerintah AS dan UE bahkan menyatakan bahwa baja merupakan industri yang benar-benar strategis sehingga harus dilindungi oleh negara untuk menjaga tingkat utilisasinya agar dapat mencapai lebih dari 80%, dimana angka tersebut merupakan angka yang diperlukan agar industri baja memiliki kemampuan untuk beroperasi dan berkembang secara berkelanjutan. “Oleh karena itu, sikap Pemerintah AS dan UE perlu menjadi rujukan dan dasar bagi Pemerintah untuk menyusun dan memberlakukan kebijakan dalam melindungi industri baja nasional”, ujar Silmy.
Selama lebih dari 10 tahun pasar domestik Indonesia menjadi pasar tujuan ekspor negara lain sehingga sebagian besar dikuasai oleh produk impor. Selama itu pula industri baja nasional hanya memiliki tingkat utilisasi di bawah 60% bahkan di beberapa sektor kurang dari 50%. “Sudah saatnya Pemerintah memberikan perhatian penuh melalui penetapan berbagai kebijakan untuk melindungi industri baja di Indonesia sebagaimana halnya langkah yang ditempuh oleh Pemerintah AS demi keamanan nasional dalam hal menjaga kepentingan strategis dan kemandirian ekonomi Indonesia di masa mendatang”, tutup Silmy.
-ooOoo-