SEAISI Travelling Seminar 2023: Pentingnya Industri Baja Menerapkan Green Steel Technology
Sumber: IISIA, SEAISI
IISIA menyelenggarakan kegiatan SEAISI Travelling Seminar pada tanggal 20 Maret 2023 bertempat di Hotel Mercure Gatot Subroto, Jakarta. Kegiatan seminar sehari yang mengusung tema “Value Creation Through Green Steel Technology Towards Sustainable Steel Industry” ini dibuka oleh Setiawan Surakusumah sebagai Direktur Komite Strategi Industri dan Teknologi IISIA. Kegiatan yang dilaksanakan bekerja sama dengan SEAISI (South East Asia Iron & Steel Institute) ini merupakan penutup dari rangkaian kegiatan travelling seminar yang sebelumnya telah dilaksanakan secara berturut-turut di negara-negara anggota SEAISI, yaitu Malaysia (6 Maret 2023), Filipina (8 Maret 2023), Vietnam (10 Maret 2023), Thailand (13 Maret 2023), Myanmar (15 Maret 2023) dan Singapura (17 Maret 2023).
Narasumber yang dipersiapkan oleh SEAISI dalam travelling seminar di tujuh negara ini adalah Mr. Lee Chun Hsien dari Tung Ho Steel Enterprise-Taiwan, Mr. Katsuaki Masuda dari Kobe Steel, Ltd-Jepang, dan Mr. Chin Seng Yap dari UK Certification Authority for Reinforcing Steels (UK CARES)-Inggris. Indonesia sebagai tuan rumah menghadirkan dua narasumber tambahan, yaitu Prof. Dr. Pino Tese dari SMS Group-Jerman dan Dr. Zulfiadi Zulhan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Indonesia. Jumlah peserta yang hadir tercatat 61 orang dari berbagai perusahaan anggota IISIA.
Pada sesi pertama Dr. Zulfiadi dalam paparannya menyampaikan fakta bahwa sektor industri baja menyumbang 11% emisi karbon global. Sekitar 80% dari emisi tersebut bersumber dari energi yang digunakan, sedangkan emisi dari proses pembuatan baja sendiri hanya sekitar 20%. Oleh karena itu, pengurangan atau transformasi energi menuju energi hijau yang rendah emisi karbon menjadi sangat penting. Dr. Zulfiadi mengestimasi industri baja di Indonesia menghasilkan emisi karbon setidaknya 20.000 ktCO2, sementara industri nikel diperkirakan menghasilkan sekitar 60.000 ktCO2 atau hampir 3 kali lipatnya.
Gambar 1 Emisi Karbon Global Per Sektor (Sumber: https://ourworldindata.org/emissions-by-sector)
Skema teknologi proses pembuatan baja (Gambar 2) menunjukkan bahwa jalur blast furnace (BF) menghasilkan emisi terbanyak mencapai 2,45 tCO2 per ton baja dibandingkan emisi terendah dari jalur direct reduction (DR) berbasis gas H2 dipadukan dengan electric arc furnace (EAF) yang hanya menghasilkan 0,1 tCO2 per ton baja. Selanjutnya Dr. Zulfiadi menjelaskan beberapa alternatif teknologi pembuatan baja yang memiliki potensi menghasilkan emisi CO2 yang lebih rendah, antara lain teknologi Shaft Furnace (DR)-EAF (HYBRIT), Shaft Furnace-SAF-BOF, Molten Metal Electrolysis (Boston Metal), serta Fluidized Bed-EAF-SAF-BOF (HyREX), dengan tinjauan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing teknologi tersebut.
Gambar 2 Emisi Karbon Per Teknologi Proses Pembuatan Baja
(Sumber: Dr. Zulfiadi Zulhan, ITB)
Memperkuat data yang disampaikan Dr. Zulfiadi, pada sesi kedua Prof. Dr. Pino Tese menyampaikan bahwa emisi CO2 industri baja global diperkirakan mencapai 4,2 GtCO2 atau sekitar 10% dari total emisi global dimana sekitar 6% merupakan emisi langsung industri baja sedangkan 4% adalah emisi tidak langsung dari industri pendukung industri baja (industri pertambangan bijih besi, industri smelter yang memproduksi ferroalloy, dan industri pembangkit listrik). Dari total emisi tersebut, saat ini diperkirakan 72% dihasilkan dari jalur produksi BF dan 28% dari jalur EAF.
Salah satu pokok pembahasan yang menarik adalah mengenai langkah-langkah penerapan teknologi oleh industri baja dalam menyikapi target nasional penurunan emisi CO2 sesuai NDT (nationally determined contribution) yang ditetapkan oleh masing-masing negara menuju net zero emission di tahun 2060. Industri baja secara bertahap dapat melakukan langkah efisiensi energi dan bahan baku sebelum tahun 2025, yang dilanjutkan dengan pengurangan emisi karbon dalam dua langkah besar sebelum tahun 2035 untuk mencapai target emisi 0,5 tCO2 per ton baja cair. Selanjutnya, penerapan teknologi pengolahan baja berbasis hidrogen dapat diaplikasikan secara penuh di tahun 2040 sehingga pada akhirnya dapat mencapai target net zero emission di tahun 2050 (Gambar 3).