Sumber: IISIA
Dampak pandemik COVID-19 telah mengakibatkan penurunan permintaan baja di hampir semua negara. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah masing-masing untuk mendukung industrinya antara lain dengan memberikan dukungan dan insentif untuk melakukan ekspor. Pemerintah Tiongkok, menurut sumber WorldSteel, telah meningkatkan potongan pajak ekspor (tax rebate) pada beberapa produk baja yang berlaku mulai 20 Maret 2020. Penyesuaian potongan pajak ini diterapkan pada 122 kode HS (harmonized system), termasuk baja tahan karat, baja lapis, baja paduan, pipa seamless, pipa las dan beberapa produk baja lainnya, namun tidak termasuk baja karbon.
Sebagai negara yang memiliki kelebihan produksi baja paling besar, produsen baja Tiongkok akan berusaha secara agresif untuk mengekspor hasil produksi bajanya ke negara lain di seluruh dunia, termasuk ke pasar Indonesia yang bagi produsen baja Tiongkok dianggap sebagai salah satu potensi pasar baja yang terbesar. Indonesia merupakan pasar baja yang sangat potensial yang antara lain disebabkan karena mempunyai wilayah yang luas, jumlah penduduk yang banyak dan sedang gencar melakukan program pembangunan infrastruktur. Dengan kondisi tersebut, kebutuhan akan produk baja akan sangat besar. Ini tentu saja merupakan peluang pasar yang sangat menjanjikan bagi produsen baja dalam negeri dan juga luar negeri, khususnya produsen baja Tiongkok.
Indonesia sebagai salah satu negara tujuan ekspor baja dari Tiongkok tentunya perlu melindungi industri dalam negeri dengan berbagai kebijakan perdagangan termasuk kebijakan penetapan tarif, dengan harapan agar dapat memaksimalkan utilisasi kapasitas produksi industri baja dalam negeri, di samping tetap dapat memenuhi kebutuhan industri hilir pengguna baja secara fair. Salah satu prinsip kebijakan utama dalam mencegah praktik-praktik penyimpangan (circumvention) impor sesuai peraturan WTO (world trade organization) antara lain melalui pengenaan tarif bea masuk (BM) impor baik bea masuk normal yang biasa dikenal dengan istilah BM MFN (most favored nation), bea masuk anti dumping (BMAD), maupun bea masuk tindakan pengamanan (BMTP).
Di sisi lain, berkebalikan dengan semangat perlindungan terhadap industri dalam negeri, di era perdagangan bebas dewasa ini Indonesia telah mengikatkan diri dengan beberapa perjanjian free trade area baik yang sifatnya bilateral maupun multilateral, yang pada prinsipnya adalah membuka perdagangan dan menurunkan atau malah membebaskan beberapa komoditas tertentu dari BM MFN. Dalam kaitannya dengan Tiongkok, Indonesia telah terikat dengan perjanjian ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA) sejak tahun 2010 yang secara bertahap menurunkan tarif impor produk-produk baja asal Tiongkok ke wilayah ASEAN sampai menjadi 0%. Sehingga dalam hal ini tarif MFN produk-produk baja (baik baja karbon maupun baja paduan) yang berlaku sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) tahun 2017 menjadi tidak berlaku lagi untuk baja impor yang berasal dari Tiongkok. Dalam hal ini maka yang masih efektif sebagai tariff barrier hanyalah tarif BMAD atau BMTP (bila ada).
Berikut ini adalah tabel perbandingan tarif MFN yang berlaku untuk baja karbon dan baja paduan, serta tarif BMAD yang masih berlaku untuk baja karbon dari Tiongkok:
Dari dua tabel di atas maka dapat dihitung BM impor yang dikenakan untuk baja karbon yang berasal dari Tiongkok, yaitu sebesar tarif BM MFN yang sebenarnya berkisar antara 15% - 20% namun menjadi 0% karena sudah terikat perjanjian AC-FTA, ditambah tarif BMAD yang bervariasi antara 10% - 20%. Sedangkan untuk baja paduan yang berasal dari Tiongkok hanya berlaku BM MFN 0% - 7,5% saja tanpa adanya perlindungan BMAD atau BMTP (saat ini tidak/belum ada). Dari perbandingan sederhana ini maka dapat diketahui dan diduga bahwa importir akan cenderung untuk melakukan penyimpangan (circumvention) dari baja karbon menjadi baja paduan untuk mendapatkan tarif BM yang lebih kecil.
Analisis atas data impor dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode 2016-2018 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan volume impor baja paduan yang sangat signifikan sementara pada saat yang sama volume impor baja karbon mengalami penurunan. Hal ini menunjukan indikasi telah terjadinya substitusi impor baja karbon dan tindakan penyimpangan menggunakan baja paduan.
Dalam upaya untuk mengurangi kelebihan pasokan baja dalam negerinya, pemerintah Tiongkok telah mendorong industri bajanya untuk melakukan ekspor terhadap baja bernilai tinggi, dengan memberikan insentif berupa potongan pajak ekspor (tax rebate) terhadap jenis baja tertentu. Berikut ini adalah tabel besaran tax rebate yang ditetapkan Pemerintah Tiongkok:
Terlihat jelas bahwa jenis baja karbon dikenakan pajak ekspor yang relatif lebih tinggi dibandingkan baja paduan dan hampir semua tidak diberikan potongan pajak ekspor (hanya CRC saja). Sedangkan sebaliknya semua jenis baja paduan dikenakan pajak ekspor 0% (tidak dikenakan pajak), bahkan hampir semuanya diberikan potongan pajak relatif besar 9-13% (hanya baja siku yang tidak diberikan potongan pajak).
Kebijakan pemerintah Tiongkok tersebut telah dimanfaatkan oleh para eksportir dan produsen baja Tiongkok untuk dapat meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dengan melakukan berbagai cara penyimpangan (circumvention). Beberapa modus penyimpangan yang dilakukan antara lain dengan menambahkan unsur Boron minimum 0,008% pada baja karbon, yang secara teknis sebenarnya tidak merubah sifat mekanik, akan tetapi eksportir dapat mendeklarasikan produk tersebut sebagai baja paduan, sehingga dapat menghindari bea ekspor baja karbon sebesar 15%, sekaligus juga dalam jumlah tertentu berhak untuk mendapatkan potongan pajak ekspor sebesar 9-13%. Dengan demikian eksportir Tiongkok akan memperoleh manfaat pajak bersih sebesar 24-28%. Modus yang sama juga dapat dilakukan dengan menambahkan unsur Chromium atau Titanium.
Merespon dan menyikapi dugaan penyimpangan di atas, dalam usaha menjaga kelangsungan industri baja nasional dari serbuan produk baja Tiongkok, maka IISIA telah menyampaikan permintaan perlindungan kepada pemerintah dan mengusulkan beberapa dukungan kebijakan dan tindakan yang dapat dilakukan pemerintah, antara lain sebagai berikut:
1. Melakukan pemantauan dan antisipasi secara terus menerus praktik-praktik circumvention baja impor khususnya baja paduan yang berasal dari Tiongkok.
2. Menetapkan kebijakan pelarangan ijin impor atas produk-produk baja paduan yang berasal dari Tiongkok yang termasuk dalam kategori circumvention.
3. Memberikan sanksi kepada importir yang telah terbukti melakukan impor produk baja paduan dari Tiongkok yang termasuk dalam kategori circumvention.
4. Melakukan harmonisasi tarif BM MFN antara produk baja hulu dan hilir, yang mana saat ini tarif BM baja hilir relatif lebih kecil dari baja hulu, sehingga menyebabkan membanjirnya impor produk baja hilir, yang pada akhirnya berdampak pada matinya industri hulu karena konsumen utama dari industri hulu adalah industri hilir.
5. Dalam menetapkan kebijakan besaran BMAD atau BMTP untuk petisi anti dumping atau safeguard atas impor baja yang berasal dari negara Tiongkok agar mempertimbangkan untuk memasukkan HS baja paduan yang memiliki fungsi dan kegunaan serupa (asas ‘like-product’) dengan baja karbon, dengan tujuan untuk menghindari modus penyimpangan.
***