Industri baja merupakan sektor industri strategis dalam perekonomian Indonesia yang berkontribusi langsung pada penciptaan keluaran (output) dan nilai tambah bruto, baik Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Di samping itu, keberadaan industri baja juga memberikan dorongan terhadap industri/sektor hulu penyedia input antara (backward linkage) dan industri/sektor hilir pengguna output (forward linkage). Peningkatan permintaan dan investasi baru di sektor baja akan menciptakan dampak pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian secara keseluruhan. Melalui mekanisme keterkaitan antar sektor, dampak investasi di sektor baja akan mendorong peningkatan kesempatan kerja (employment multiplier) dan pendapatan rumah tangga (income multiplier). Selain itu, setiap peningkatan kapasitas industri baja nasional akan berdampak pada penerimaan pajak yang diterima oleh berbagai level pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten). Pada level pemerintah pusat, pembayaran pajak dari kegiatan industri baja diakui dalam pos penerimaan dalam negeri (PDN) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan pada level pemerintahan sub-nasional (provinsi/kabupaten) penerimaan pajak akan mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebagai implikasi dari otonomi daerah, dampak fiskal juga akan dirasakan oleh pemerintah provinsi/kabupaten lain di luar Banten dan Cilegon melalui mekanisme transfer antar-pemerintahan seperti Dana bagi Hasil Pajak (DBHP), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK)*.
Faktor utama:
Dengan pembangunan infrastruktur berkelanjutan yang menopang pertumbuhan industri manufaktur, pengembangan industri migas, peningkatan kegiatan pertambangan, dan pengolahan mineral serta berbagai sektor industri lainnya, maka kebutuhan baja dalam negeri akan terus mengalami peningkatan. Konsumsi baja Indonesia diperkirakan akan naik dari 15,9 juta ton pada 2019 menjadi 22,3 juta ton pada 2024.
Setiap rupiah nilai kenaikan permintaan akhir atas produk baja akan meningkatkan output perekonomian secara keseluruhan sebesar Rp2,22. Mengingat nilai permintaan produk baja pada saat ini mencapai Rp200 triliun, maka akan terjadi peningkatan output perekonomian sebesar Rp440 triliun hingga Rp630 triliun pada tahun 2024 seiring dengan peningkatan kebutuhan baja* (diolah).
Kenaikan output produk baja nasional juga berdampak langsung pada penerimaan negara, khususnya PPn, sebesar 10% dari nilai transaksi penjualan produk baja. Dengan demikian PPn yang berasal dari industri baja akan mencapai Rp20 triliun pada 2019 dan Rp44 triliun pada 2024.
Rencana pembangunan nasional yang telah disampaikan melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018 akan terus mendorong pertumbuhan konsumsi baja karena proyek yang dicanangkan banyak menggunakan besi dan baja.
Sumber: Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI).