Krisis Kelebihan Kapasitas Baja Global
Sumber: Eurofer, GFSEC, IISIA
Pada tanggal 22 Oktober 2020, berbagai asosiasi baja global mendesak Global Forum for Steel Excess Capacity (GFSEC) agar terus berupaya mengatasi krisis kelebihan kapasitas produksi baja global. GFSEC merupakan forum yang didirikan pada 16 Desember 2016 di Berlin oleh 33 negara anggota G20 dan OECD, termasuk Indonesia. Pada saat itu, GFSEC mewakili lebih dari 90% produksi dan kapasitas baja global. Namun demikian, pada perkembangan terakhir India, Saudi Arabia dan Tiongkok telah menyatakan keluar dari GFSEC.
Dalam pernyataan bersama, asosiasi baja global menyampaikan keprihatinan atas peningkatan kapasitas baja global baru-baru ini yang justru terjadi pada saat permintaan baja sangat tertekan oleh pandemi COVID-19. Hal ini telah membalikkan tren penurunan kapasitas dalam tiga tahun setelah GFSEC didirikan (2016 - 2019). Pada tahun 2016, surplus kapasitas baja global mencapai 737 juta ton dan Tiongkok menjadi satu-satunya negara yang memberikan komitmen target pengurangan kapasitas baja kasar sebesar 100 - 150 juta ton dalam 5 tahun. Selanjutnya, pada tahun 2017, GFSEC mencatat penurunan kapasitas sebesar 132 juta ton yang terjadi di Tiongkok, Uni Eropa, Jepang, AS, Afrika Selatan dan peningkatan kapasitas sebesar 34 juta ton yang terjadi di India, Brasil, Meksiko, Indonesia dan Turki. Setahun berikutnya, pada tahun 2018, GFSEC menemukan banyak negara membangun kapasitas secara signifikan, termasuk diantaranya melalui investasi lintas batas negara. Berdasarkan laporan OECD berjudul “Latest Development of Steelmaking Capacity 2020”, kapasitas baja dunia pada tahun 2019 telah mencapai 2.363 juta ton atau memiliki kelebihan kapasitas sebesar 514 juta ton. Dalam laporan tersebut, OECD juga mencatat terjadinya rencana penambahan kapasitas produksi baja global sebesar 58 juta ton yang akan selesai pada tahun 2020-2022.
Meskipun masih terjadi kelebihan kapasitas global secara signifikan, asosiasi Industri baja global memuji komitmen yang telah diambil oleh anggota GFSEC untuk mengendalikan kelebihan kapasitas baja global berdasarkan prinsip-prinsip kebijakan yang telah disepakati dan direkomendasikan dalam Berlin Ministrial Report. Asosiasi baja global secara khusus meminta negara-negara peserta forum GFSEC untuk:
(a) meningkatkan disiplin terkait penghentian subsidi industri dan tindakan dukungan pemerintah yang berkontribusi pada kelebihan kapasitas dan terjadinya distorsi pasar;
(b) menjunjung solusi perdagangan (trade remedies) yang efektif untuk memastikan tingkat persaingan pasar yang adil;
(c) memperdalam analisis tentang faktor pendorong peningkatan kapasitas produksi baja untuk mengetahui investasi bersubsidi dan tidak berdasarkan kebutuhan pasar;
(d) menyusun perkiraan permintaan baja yang akurat di mana investasi akan dilakukan;
(e) meningkatkan transparansi dengan mengembangkan komunikasi dan informasi yang terbuka kepada publik; dan
(f) mengkomunikasikan kepada pemimpin G20 tentang perlunya upaya lebih luas untuk mengatasi krisis kelebihan kapasitas baja.
Asosiasi baja global juga menyerukan kepada negara-negara yang keluar dari GFSEC untuk kembali partisipasi aktif dalam GFSEC. Asosiasi berpendapat bahwa, penanganan krisis baja global secara efektif merupakan kepentingan semua negara produsen baja dan konsumen baja di seluruh dunia yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua negara G20.
Pada tanggal 26 Oktober 2020, dalam pertemuan GSFEC yang dilakukan secara daring dan dihadiri oleh delegasi para menteri dan pejabat senior dari 29 negara, termasuk Indonesia, GFSEC telah menyepakati pernyataan bersama yang antara lain meliputi:
(1) Pandemi COVID-19 telah mengakibatkan penurunan permintaan baja secara drastis dan diperkirakan masih akan berdampak hingga beberapa tahun ke depan. Kelebihan kapasitas industri baja global pada tahun ini meningkat secara signifikan mencapai paling tidak 606 juta ton dan diperkirakan masih akan tetap tinggi di masa mendatang. Dalam kondisi pasar yang tertekan, GFSEC menaruh perhatian khusus terhadap perkembangan kapasitas dan kebijakan industri baja yang terjadi di negara-negara non-anggota GFSEC. Ketidakseimbangan pasar pada saat ini semakin memburuk akibat peningkatan produksi, khususnya di Tiongkok, di tengah-tengah penurunan drastis permintaan pasar. Hal ini disebabkan karena kelebihan kapasitas produksi dan tidak berfungsinya mekanisme pasar. Lebih lanjut lagi, fasilitas produksi baru terus bermunculan di berbagai negara baik melalui investasi domestik maupun lintas negara yang dilakukan dengan dukungan pemerintah. Industri baja akan tetap berada pada kondisi buruk dan menderita sampai dengan diterapkannya kebijakan untuk mengatasi kelebihan kapasitas dan menjalankan mekanisme pasar secara lebih efisien.
(2) Delegasi para menteri dan pejabat senior dari 29 negara anggota GFSEC merekomendasikan kepada para pemimpin G20 untuk:
(a) mempertahakan permasalahan kelebihan kapasitas baja global dalam agenda G20,
(b) mempromosikan prinsip GFSEC dalam mengatasi permasalahan kelebihan kapasitas, dan
(c) mendukung GFSEC sebagai langkah multilateral ke depan, yang terbuka untuk semua anggota G20 dan OECD yang berminat.
Indonesia sebagai anggota GFSEC perlu berperan aktif untuk memperjuangkan agenda pengembangan industri baja nasional. Selain permasalahan kelebihan kapasitas, Indonesia juga menghadapi tantangan khusus yaitu bagaimana memenuhi kebutuhan baja domestik yang akan terus meningkat seiring dengan perkembangan ekonomi di masa depan. Berbagai lembaga terkemuka memproyeksikan Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia nomor 5 pada tahun 2024 dan nomor 4 pada tahun 2050. Salah satu persyaratan untuk dapat membangun kekuatan ekonomi terbesar tersebut adalah pembangunan infratruktur yang cukup masif. Berdasarkan catatan World Economics Forum 2019 daya saing infrastruktur Indonesia masih berada pada urutan 72 dari 140 negara, di bawah negara tetangga: Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Kebutuhan untuk melakukan pembangunan infrastruktur, bersama dengan pembangunan berbagai industri—otomotif, transportasi, tambang, energi, telekomunikasi, kemasan, peralatan, pertahanan dan industri lainnya—akan mendorong pertumbuhan konsumsi baja secara signifikan. Sebagai gambaran, kebutuhan baja India pada saat ini telah mencapai 110 juta ton dan diproyeksikan akan menjadi 600 juta ton pada tahun 2050; sedangkan Tiongkok telah mengkonsumsi baja sebesar 960 juta ton. Berkaca pada kedua negara ini maka kebutuhan baja Indonesia dipastikan akan meningkat sangat signifikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun program pengembangan industri baja nasional yang selaras dan seiring dengan perkembangan kebutuhan baja domestik melalui pembuatan peta jalan pengembangan industri baja nasional yang terintegrasi dengan rencana pengembangan ekonomi nasional secara keseluruhan termasuk rencana pengembangan infrastruktur dan industri nasional. Tanpa pengembangan industri baja nasional yang tepat maka indonesia akan dapat mengalami permasalahan kelebihan kapasitas atau justru akan bergantung pada produk baja impor yang akan berdampak kepada kemandirian industri nasional, defisit neraca perdagangan serta perkembangan perekonomian nasional secara keseluruhan. (WS)