Meningkatnya Ekspor Baja Tiongkok Memicu Tindakan Perlindungan Perdagangan Baru
Sumber: FDI Intelligence, Reuters, Steel Radar, White & Case, MEPS International, Dialogo Americas, SP Global, Steelorbis, Fastmarkets, GMK Center, The Edge, Vietnam Investment Review, Kallanish
Tiongkok, yang memproduksi lebih dari setengah baja dunia, dituduh memicu krisis kelebihan kapasitas baja global. Sejak tahun 2000, kapasitas dan produksi baja Tiongkok meningkat pesat untuk memenuhi permintaan yang melonjak selama dua dekade pertumbuhan ekonomi yang cepat. Saat ini, pabrik baja di Tiongkok mampu memproduksi lebih dari 967.000 ton baja per tahun, menurut Global Energy Monitor jumlah ini lebih dari dua kali lipat kapasitas baja gabungan di AS, Uni Eropa, dan India. Namun, penurunan tajam dalam permintaan domestik dan harga baja di Tiongkok, terutama akibat melambatnya sektor properti, mendorong produsen baja Tiongkok menjual kelebihan baja mereka dengan harga murah ke pasar internasional. Pada tahun 2023, ekspor baja Tiongkok naik 36,2% dari tahun sebelumnya, mencapai 90,3 juta ton. Berdasarkan data bea cukai Tiongkok, pasar ekspor terbesar baja Tiongkok pada tahun 2023 adalah Korea Selatan dengan nilai $6,30 miliar, disusul oleh Vietnam ($6,08 miliar), Uni Eropa ($4,14 miliar), sementara Indonesia berada di peringkat keenam dengan nilai $3,24 miliar.
Situasi ini mengingatkan pada tahun 2015, ketika sektor baja Tiongkok menghadapi kelebihan pasokan yang signifikan. Pada saat itu, ekspor baja Tiongkok mencapai rekor tertinggi 112 juta ton, yang memicu sengketa dagang dengan Uni Eropa, AS, dan negara-negara ekonomi lainnya. Kevin Dempsey, CEO American Iron and Steel Institute (AISI), mengatakan bahwa Tiongkok mengganggu pasar global dengan mensubsidi produksi baja dan membanjiri pasar AS serta negara lainnya dengan produk murah. Meskipun pemerintah Tiongkok telah berupaya mengurangi kelebihan kapasitas produksi baja domestik dan menghambat ekspor dengan menaikkan tarif bea masuk besi serta mengeluarkan aturan baru untuk mengendalikan kapasitas produksi baja, masalah baru muncul. Produsen baja Tiongkok mulai memindahkan kapasitas produksi mereka ke negara-negara yang tergabung dalam inisiatif Belt and Road (BRI) untuk menghindari tarif. Salah satu contohnya adalah Yongjin Metal Technology, yang sedang membangun fasilitas produksi baru di Thailand, Indonesia, dan Vietnam.
Krisis kelebihan kapasitas baja global yang dipicu oleh Tiongkok telah menuai berbagai respons dari negara-negara di seluruh dunia untuk melindungi industri baja mereka. Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang paling aktif melindungi pasar baja domestiknya dari impor baja murah asal Tiongkok melalui berbagai instrumen kebijakan. Baru-baru ini, AS menaikkan tarif sebesar 25% dari sebelumnya 0-7,5% untuk impor baja dari Tiongkok, yang tercakup dalam Section 301. Tarif ini berbeda dari tarif baja sebesar 25% yang diatur dalam Section 232, yang diberlakukan pada masa pemerintahan Presiden Trump. Selain itu, Pemerintah AS juga bekerja sama dengan Meksiko untuk mencegah penghindaran tarif oleh baja Tiongkok yang masuk ke AS melalui Meksiko. Kebijakan baru yang diterapkan oleh Presiden Joe Biden mengatur bahwa baja yang diimpor dari Meksiko akan dikenakan tarif Section 232 sebesar 25%, kecuali jika baja tersebut telah dilebur dan dituang di Meksiko, AS, atau Kanada. Importir baja ke AS juga diwajibkan menyerahkan sertifikat analisis kepada Bea Cukai AS untuk menunjukkan asal baja tersebut.
Meksiko sendiri telah memberlakukan tarif sebesar 80% pada beberapa jenis baja yang diimpor dari Tiongkok, termasuk ekspor cold-rolled steel sheets dari Vietnam. Namun, ada beberapa kelompok yang dikecualikan dari tarif ini jika mereka dapat membuktikan bahwa baja tersebut berasal dari negara selain Tiongkok. Sebelumnya, pada Agustus 2023, Meksiko juga menaikkan tarif hingga 25% untuk beberapa impor baja dari negara-negara yang tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas, termasuk Tiongkok. Kanada pun mengikuti jejak negara lain dalam melindungi industri bajanya dari produk baja murah asal Tiongkok dengan rencana penerapan tarif sebesar 25% yang akan mulai berlaku pada 15 Oktober 2024. Daftar barang yang akan dikenakan tarif tersebut akan dikonfirmasi pada 1 Oktober 2024.
Dampak global ekspor baja Tiongkok juga terlihat jelas di Amerika Latin, yang mengalami penurunan produksi akibat masuknya impor baja murah. Tiongkok kini menjadi pemasok utama baja ke wilayah tersebut, menyumbang hampir sepertiga dari semua produk baja yang diimpor ke Amerika Latin. Menurut Latin American Steel Association (Alacero), baja murah dari Tiongkok telah menekan industri baja di kawasan itu, menyebabkan beberapa perusahaan besar menghentikan atau menutup operasi mereka. Salah satunya adalah Compañía de Aceros del Pacífico (CAP) dari Chili, yang menangguhkan operasinya di pabrik Huachipato karena ketidakmampuan bersaing dengan harga baja dari Tiongkok, dan menegaskan bahwa praktik dumping Tiongkok telah mempengaruhi pembangunan ekonomi dan sosial di wilayah tersebut. Kegiatan perusahaan ini dilanjutkan setelah pemerintah Chili memberlakukan tarif sementara pada impor baja dari Tiongkok. Situasi serupa juga terjadi di Kolombia, di mana produsen baja Acerías Pazdelrío menghadapi persaingan tidak adil selama dua tahun terakhir akibat impor besar-besaran dari Tiongkok dan Rusia, yang dijual dengan harga hingga 40 persen di bawah harga pasar internasional. Di Brasil, produsen baja Gerdau terpaksa memberhentikan sementara pekerjanya di pabrik São José dos Campos, São Paulo, pada Maret lalu, dengan alasan persaingan tidak sehat yang dipicu oleh baja murah dari Tiongkok.
Merespons kondisi tersebut, negara-negara Amerika Latin seperti Brasil mulai mengambil langkah proteksionis. Baru-baru ini, pemerintah Brasil memutuskan untuk mengenakan pajak 25% pada impor baja dari Tiongkok yang melebihi kuota tertentu, guna mengatasi persaingan yang dianggap tidak adil dan menstabilkan industri baja nasional. Selain itu, tiga produsen baja Kolombia, yakni Acerías Paz del Río, Diaco, dan Siderúrgica del Occidente (Sidoc), telah meminta Kementerian Perdagangan dan Industri untuk melakukan penyelidikan dan meningkatkan tindakan pengamanan dari 5% menjadi 35% guna membendung impor baja murah dari Tiongkok.
Dampak kelebihan kapasitas baja dari Tiongkok juga dirasakan oleh industri baja di Eropa, meskipun kawasan ini telah memiliki instrumen perlindungan seperti Tariff Rate Quota sebesar 25% dan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Namun, upaya ini belum cukup melindungi produsen baja Eropa dari tekanan impor murah dari Tiongkok. Beberapa perusahaan besar bahkan terpaksa melakukan langkah drastis. Celsa, misalnya, sedang mempertimbangkan untuk menjual pabrik baja mereka di Polandia, Norwegia, dan Inggris. Sementara itu, Thyssenkrupp mengumumkan rencana pengurangan kapasitas baja sebesar 1,5-2 juta ton, setelah sebelumnya menutup pabrik Galmed di Spanyol. Liberty Ostrava di Republik Ceko juga menutup blast furnace-nya sejak Desember 2023 akibat kekurangan pasokan listrik karena utang, dan Acciaierie d’Italia (Ilva) terancam ditutup akibat masalah likuiditas. Menurut CEO Acerinox, instrumen perlindungan yang ada saat ini belum cukup, sehingga diperlukan tarif impor yang lebih tinggi untuk menyeimbangkan persaingan. Pasar baja Eropa sendiri masih belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang signifikan.
Kekhawatiran menjadi tujuan dumping produk baja murah dari Tiongkok juga dirasakan di beberapa negara Asia. Di Vietnam, impor baja dari Tiongkok naik 91% dalam lima bulan pertama tahun 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Untuk melindungi industri baja lokal, pada 14 Juni 2024, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Vietnam memutuskan untuk menyelidiki dan menerapkan tindakan anti-dumping pada produk baja dari Tiongkok dan Korea Selatan. Vietnam Steel Association (VSA) menyarankan adanya penyelidikan lebih spesifik untuk menentukan volume impor yang mengancam industri dalam negeri, dengan tujuan mempertimbangkan penerapan pajak perdagangan terpisah untuk masing-masing negara. Kekhawatiran serupa juga muncul di Jepang, di mana Nippon Steel, produsen baja terbesar keempat dunia, meminta pemerintah Jepang mengenakan tarif anti-dumping pada ekspor baja Tiongkok. Mereka khawatir ekspor baja Tiongkok akan membanjiri Jepang jika negara tersebut tidak memiliki perlindungan perdagangan. Data dari Japan Iron and Steel Federation (JISF) menunjukkan bahwa impor baja dari Tiongkok melonjak 43% pada April-Juni 2024.
Korea Selatan juga merasakan dampak serupa, di mana impor baja dari Tiongkok naik 1,3% menjadi 3,195 juta ton, meningkatkan pangsa pasar Tiongkok di sektor baja Korea dari 56,5% menjadi 58,9%. Harga baja impor dari Tiongkok yang 10-20% lebih rendah dibandingkan produksi lokal berdampak negatif pada penjualan baja domestik, terutama di tengah rendahnya permintaan baja. Produk murah ini berpotensi menyebabkan pengurangan tenaga kerja atau bahkan penutupan perusahaan baja lokal. Menghadapi situasi tersebut, industri baja Korea Selatan berencana mengajukan kasus anti-dumping untuk melawan impor dari Tiongkok. Sementara itu, pasar baja India juga menghadapi situasi yang unik. Di satu sisi, Kementerian Baja India mengklaim sedang meningkatkan produksi domestik untuk memenuhi permintaan lokal, namun di sisi lain, peningkatan permintaan tersebut justru dipenuhi dengan impor, terutama dari Tiongkok. Akibatnya, Kementerian Baja India meminta Perdana Menteri Narendra Modi dan Kementerian Keuangan untuk menaikkan bea masuk baja dari 7,5% menjadi 10-12%. Di Turki, meskipun terjadi peningkatan konsumsi baja domestik, produsen baja lokal tetap gagal mengambil manfaat karena impor dari Tiongkok juga meningkat. Turki kemudian meluncurkan penyelidikan anti-dumping dan memperpanjang bea anti-dumping pada produk baja Tiongkok setelah menemukan bahwa penghapusan bea ini dapat memperburuk praktik dumping di masa mendatang.
Melihat banyaknya instrumen yang diterapkan berbagai negara untuk melindungi industri baja domestik dari produk murah asal Tiongkok, Indonesia juga perlu segera mengambil langkah serupa agar tidak menjadi pasar tujuan ekspor baja murah tersebut. Saat ini, Indonesia hanya menerapkan 8 instrumen trade remedies, dengan 7 di antaranya berupa tindakan anti-dumping dan 1 safeguard. Sayangnya, 6 dari 7 anti-dumping tersebut telah berakhir dan 1 safeguard akan segera berakhir di tahun 2024, sehingga hanya tersisa 1 anti-dumping yang masih aktif. Hal ini membuat Indonesia sangat rentan terhadap masuknya produk baja impor. Indonesia harus segera menerapkan instrumen perlindungan perdagangan yang lebih efektif untuk melindungi industri baja dalam negeri dari tekanan impor produk baja murah, terutama dari Tiongkok. Tanpa kebijakan yang kuat, produsen baja dalam negeri akan semakin kehilangan daya saing dan pangsa pasar, yang berisiko mengancam kelangsungan industri strategis ini. Dengan mengambil langkah tegas, seperti menerapkan bea masuk yang lebih tinggi dan memperpanjang instrumen trade remedies yang ada, Indonesia dapat menjaga pertumbuhan dan keberlanjutan industri baja dalam negeri di tengah persaingan global yang semakin ketat.
***