Pemerintah Tiongkok Mencanangkan Pengurangan Emisi Karbon Produksi Baja
Sumber: Kementerian Ekologi dan Lingkungan Tiongkok, IISIA
Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi Tiongkok (The Ministry of Industry and Information Technology, MIIT) sedang menyusun rencana untuk mengendalikan emisi karbon, polusi, dan konsumsi energi dari industri baja. Hal ini disampaikan dalam acara 11th China International Steel Congress yang berlangsung pada tanggal 26 – 28 Mei 2021 di Shanghai.
Tindakan ini merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah Tiongkok yang menargetkan karbon netral pada tahun 2060. Target ini lebih lambat dibandingkan dengan target Pemerintah AS yang mengampanyekan pencapaian karbon netral pada tahun 2050. Beberapa pemerintah negara lain masih belum menyepakati seruan karbon netral ini. India yang merupakan negara dengan emisi karbon terbesar ketiga setelah AS dan China menolak seruan politisi AS tersebut. Pemerintah India memilih untuk mengurangi jejak karbon hingga 35% dari 2005 ke 2030, dan tidak mengikuti target ambisius pemerintah AS untuk mencapai emisi karbon 0% pada 2050. Berbagai ahli telah menyatakan bahwa target karbon netral yang dicanangkan Pemerintah AS merupakan target tidak realistis.
Industri baja Tiongkok, menurut para ahli, menyumbang sekitar 18% dari total emisi karbon. Hal ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang dalam memenuhi target karbon netral melalui pengembangan teknologi produksi baja rendah emisi karbon. MIIT akan menyusun rencana untuk pemenuhan target karbon netral melalui berbagai langkah termasuk di dalamnya pengendalian volume produksi baja, peningkatan proporsi proses berbasis EAF (Electric Arc Furnace) dan pengembangan proses metalurgi berbasis hidrogen. Selain itu, MIIT juga akan bekerja secara aktif dengan lembaga pemerintah terkait, termasuk Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (The National Development and Reform Commission), dalam memenuhi target pengurangan kelebihan kapasitas produksi baja.
Tiongkok menghasilkan 1,06 miliar ton baja mentah pada tahun 2020, menyumbang lebih dari 55% produksi baja global. Dalam beberapa tahun terakhir, industri besi dan baja Tiongkok telah melakukan pengurangan kapasitas produksi baja konvensional yang tidak efisien dan kurang ramah lingkungan. Hal ini dilakukan dalam rangka restrukturisasi industri baja, mengoptimalkan konsumsi energi, serta proses peralihan ke teknologi produksi baja rendah emisi karbon.
Selama periode 13th Five-Year Plan (2016-2020), pengurangan kapasitas baja Tiongkok diperkirakan mencapai 170 juta ton dan beberapa perusahaan baja telah melakukan restrukturisasi proses produksi rendah emisi karbon sampai dengan akhir tahun 2020. Tiongkok diperkirakan akan mencapai puncak emisi CO2 pada tahun 2030 dan menargetkan untuk meraih netralitas karbon pada tahun 2060. Untuk mencapai hal ini, industri besi dan baja akan didorong untuk melakukan percepatan transisi teknologi ke mode produksi hijau, rendah emisi karbon, dan produk berkualitas tinggi.
Ansteel Group Corp. melihat potensi besar daur ulang baja sebagai salah satu opsi untuk menghasilkan baja dengan emisi karbon yang rendah. Baja merupakan material yang sepenuhnya dapat didaur ulang. Menurut perkiraan Worldsteel, tingkat daur ulang baja mencapai 94%. Melalui proses daur ulang maka emisi karbon yang dihasilkan untuk memproduksi baja akan dapat dikurangi secara signifikan dibandingkan dengan produksi melalui jalur produksi terintegrasi. Selain daur ulang, Ansteel juga melihat potensi teknologi berbasis hidrogen sebagai salah satu teknologi produksi baja rendah emisi karbon. Kondisi ini didukung dengan adanya prospek penurunan biaya hidrogen hingga 50% di masa depan. Selanjutnya, praktik penggunaan teknologi rendah emisi karbon harus diterapkan tidak hanya dalam proses produksi besi dan baja, melainkan juga di seluruh rantai pasokan baja.
Namun demikian, para ahli memprediksi bahwa para pelaku industri akan menemui beberapa kesulitan dan tantangan selama masa transisi ke proses produksi rendah emisi karbon. Menurut Baoshan Iron & Steel Co. Ltd, produsen baja Tiongkok perlu menyeimbangkan antara tuntutan untuk melakukan dekarbonisasi dengan kebutuhan menjaga stabilitas produksi untuk memenuhi permintaan konsumsi baja yang masih cukup besar seiring dengan berlanjutnya urbanisasi dan industrialisasi Tiongkok. Selain itu, sebagian besar baja Tiongkok diproduksi menjadi barang jadi dalam dua dekade terakhir sehingga jumlah besi tua (skrap) yang tersedia untuk didaur ulang menjadi terbatas. Hal ini tentu saja akan menjadi salah satu kendala dalam upaya produksi baja dengan proses rendah emisi karbon.
Industri besi dan baja global merupakan konsumen energi terbesar kedua setelah industri kimia, dan merupakan penghasil emisi CO2 terbesar kedua setelah industri semen. Sekitar 10% dari total emisi CO2 global disumbangkan oleh sektor besi dan baja baik secara langsung dan tidak langsung, dengan volume emisi CO2 sebesar 3,7 miliar ton. Sampai saat ini, baru beberapa perusahaan baja besar yang memiliki rencana untuk ikut berusaha mencapai tujuan produksi karbon netral pada tahun 2050. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa jalan untuk menuju teknologi produksi baja rendah emisi karbon masih memiliki banyak tantangan, baik dalam pengembangan teknologi maupun biaya yang signifikan.
Asosiasi Besi dan Baja Tiongkok (China Iron and Steel Association) menyatakan bahwa praktik produksi baja rendah emisi karbon ini dapat terwujud jika perusahaan baja global turut bergabung dalam penelitian serta pengembangan teknologi. Para produsen baja besar dunia seyogianya dapat berinvestasi dan berbagi risiko dalam pengembangan teknologi ini sehingga praktik produksi baja rendah emisi karbon selanjutnya dapat dipergunakan oleh seluruh pelaku industri baja global.
Di Indonesia, potensi pengurangan emisi CO2 yang dihasilkan oleh industri baja mendapat momentum dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 22/2021 (PP 22/2021) dimana slag baja ditetapkan sebagai Limbah Non B3 Terdaftar dan Peraturan Pemerintah No. 28/2021 (PP 28/2021) dimana slag baja ditetapkan sebagai Bahan Baku/Bahan Penolong Produk Samping. Dengan penetapan ini maka penggunaan slag sebagai bahan baku semen, recovered Fe sebagai bahan baku daur ulang, serta pemanfaatan slag untuk berbagai penggunaan lainnya seharusnya tidak memiliki hambatan lagi. Penggunaan slag tersebut akan dapat mengurangi konsumsi energi dan emisi CO2. Selanjutnya, langkah untuk mengembangkan teknologi produksi baja rendah emisi karbon di tanah air masih akan panjang dan membutuhkan dukungan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) industri baja nasional, khususnya pelaku industri dan pemerintah. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah penyusunan peta jalan pengembangan industri baja rendah emisi karbon sebagai bagian dari rencana pengembangan industri baja nasional. Selain itu, pengembangan dan adopsi teknologi produksi baja rendah emisi karbon akan membutuhkan biaya yang signifikan sehingga dibutuhkan industri baja nasional yang sehat dan tangguh sebagai prasyarat. Semuanya hanya dapat terwujud dengan adanya berbagai kebijakan dan dukungan pemerintah yang berpihak kepada industri baja nasional.
***