Peningkatan Peran SNI Wajib dalam Mendukung Kinerja Industri Baja Nasional
Sumber: IISIA
Indonesia telah lama menjadi target pasar bagi produsen baja dari berbagai negara seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Taiwan, serta negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. Sepanjang tahun 2015-2021, tercatat nilai volume impor produk baja rata-rata mencapai 50% dari konsumsi baja nasional. Bahkan pada beberapa tahun dalam periode tersebut, volume impor baja lebih besar dari 50%. Tingginya volume impor inilah yang kemudian memunculkan istilah adanya banjir impor produk baja. Kondisi banjir impor produk baja yang memprihatinkan ini sudah cukup lama menjadi perhatian. Dalam Rapat Terbatas mengenai Ketersediaan Bahan Baku Besi dan Baja di Jakarta, 12 Februari 2020, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa baja sudah masuk dalam peringkat 3 besar produk impor yang masuk ke Indonesia. Hal tersebut tidak hanya berdampak negatif pada industri baja nasional, namun juga telah membebani neraca perdagangan Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Presiden Jokowi berpesan agar kebijakan non-tarif dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin, sehingga industri baja dalam negeri dan konsumen dapat dilindungi. Salah satu upaya perlindungan industri baja dalam negeri yang dapat dilakukan adalah penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diberlakukan dalam rangka membendung impor produk baja berkualitas rendah.
Selain berfungsi sebagai perangkat kebijakan untuk membendung impor baja berkualitas rendah, SNI juga berperan penting dalam penjaminan kualitas produk baja yang dipergunakan konsumen dan proyek-proyek infrastruktur. Pentingnya SNI dalam proyek-proyek infrastruktur nasional telah menjadi perhatian pemerintah dan para ahli yang disampaikan dalam berbagai kesempatan. Direktur Keberlanjutan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (PUPR), Kimron Manik, menyatakan bahwa material yang tidak sesuai SNI sangat rawan terhadap kecelakaan konstruksi atau kegagalan bangunan pada saat penggunaan di lapangan. Selain itu, Kimron Manik juga menegaskan bahwa penggunaan produk dalam negeri, termasuk baja lapis, harus bersertifikat SNI karena memiliki keunggulan pada kualitas yang dapat memperkuat struktur bangunan atau konstruksi.
Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, juga menilai bahwa selain untuk mendukung proyek nasional, produk lokal dengan SNI lebih unggul dari produk impor. Hal itu menunjukkan, bahwa penggunaan baja ber-SNI mampu meningkatkan kualitas proyek infrastruktur nasional serta memperpanjang ketahanan usia proyek pemerintah. Penggunaan material yang sesuai SNI terbukti mampu menurunkan resiko kegagalan/rusaknya konstruksi bangunan akibat bencana alam seperti gempa bumi. Namun demikian, rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai SNI membuat masih banyak proses pembangunan yang tidak menggunakan material sesuai standar tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan gerakan peningkatan kesadaran masyarakat pentingnya penerapan SNI pada berbagai aplikasi seperti bangunan maupun produk baja. Dengan produk yang terjamin kualitasnya, keselamatan serta keamanan masyarakat akan lebih terjaga.
Selain untuk meminimalisir bencana dan menjamin kualitas produk baja, penerapan SNI juga membantu menciptakan iklim persaingan yang sehat. SNI mendorong terciptanya suatu produk dengan standar yang hanya bisa dihasilkan jika proses produksinya memenuhi kriteria tertentu. Untuk mencapai hal itu, produsen akan berusaha mencari proses yang efisien dan efektif, mulai dari pemilihan bahan baku, proses produksi, sampai dengan pengemasan dan distribusi. Dengan kata lain, produsen akan terus melakukan inovasi sehingga produk yang dihasilkan memiliki daya saing di pasar. Selain itu, penerapan SNI dalam skala yang lebih luas akan mendorong tumbuhnya dinamika ekonomi baru yang dapat mendorong para produsen untuk berusaha mendapatkan SNI atas produk mereka.
Untuk menciptakan iklim persaingan yang sehat, produsen perlu memahami kategori SNI untuk produk usaha masing-masing. Produk baja di Indonesia pada dasarnya terbagi atas tiga kategori SNI, yaitu sudah SNI tapi masih bersifat sukarela, sudah SNI dan berlaku wajib, serta belum SNI. Beberapa produk baja di Indonesia yang awalnya bersifat sukarela telah diubah menjadi wajib oleh Menteri Perindustrian melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Pasal 52 Tentang Perindustrian. Dengan adanya Permenperin tersebut, produsen memiliki acuan yang wajib diikuti, sehingga diharapkan dapat menciptakan persaingan usaha yang sehat. Perubahan SNI sukarela menjadi wajib dilakukan karena produk baja tersebut berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat, dan/atau pertimbangan ekonomis.
Dukungan terhadap pemberlakuan SNI terus mendapat respon positif dari berbagai kalangan di Indonesia. Sebagai contoh, pada tanggal 12 Januari 2023, Kementerian Perdagangan (Kemendag) melakukan pemusnahan 419.537 batang produk baja tulangan beton (BjTB) senilai Rp32,23 miliar yang tidak memenuhi SNI. Langkah tersebut dilakukan dorongan bagi industri-industri dalam negeri untuk mengikuti ketentuan SNI sebagai upaya dalam melindungi konsumen serta menciptakan iklim usaha yang adil bagi industri baja. IISIA sangat mengapresiasi hal ini yang diyakini akan dapat mendorong produsen baja nasional untuk memproduksi baja sesuai dengan SNI karena merasa terlindungi.
Langkah tegas yang dilakukan oleh pemerintah melalui Menteri Perdagangan yang melakukan pemusnahan terhadap produk non-SNI tersebut merupakan angin segar bagi penerapan SNI untuk produk baja. Namun demikian, penerapan SNI masih memiliki sejumlah kendala yang dihadapi oleh industri baja nasional, yaitu:
- Banyaknya jenis produk baja yang belum memiliki SNI Wajib.
- Kegiatan Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda (SPPT) SNI yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) belum menjamin efektivitas pelaksanaan SNI. Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya produk bersertifikasi SNI di pasaran yang tidak sesuai dengan ketentuan, baik produk yang berasal dari dalam negeri maupun impor.
- Penegakan hukum melalui pengenaan sanksi belum memberikan efek jera bagi pelanggar SNI Wajib. Adapun sanksi tersebut telah diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2014 yang antara lain mengatur sanksi pidana.
- Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) di kementerian terkait dalam melakukan pengawasan penerapan SNI Wajib.
Kendala-kendala tersebut menunjukkan bahwa penerapan SNI belum dilaksanakan secara maksimal. Hal tersebut juga membuat SNI masih tertinggal jika dibandingkan dengan beberapa negara maju, baik dalam hal penerapan maupun jumlah standarnya. Saat ini, SNI produk baja berjumlah kurang lebih sebanyak 36, yang terdiri dari 17 SNI Wajib dan 19 SNI Sukarela. Jumlah ini masih kurang mengingat masih banyaknya produk baja yang belum bersertifikasi SNI. Bila dibandingkan dengan negara maju, jumlah SNI untuk produk baja Indonesia masih tertinggal dengan negara Jerman (Deutsche Industrie Norm, DIN) dengan 78 standar, Jepang (Japanese Industrial Standards, JIS) dengan 92 standar, maupun Rusia (Gosudarstvennyi Standard, GOST) dengan 72 standar. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian (Balitbang Kemenperin), Dr. Ngakan Timur Antara, menyatakan bahwa negara maju terkait erat dengan industri, dan industri ini terkait dengan standar. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Dalam kesempatan lainnya, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, juga menyampaikan bahwa standar dapat berfungsi sebagai tolak ukur evaluasi yang bermanfaat untuk membuat penilaian diri secara teratur dalam melihat posisi serta upaya pencapaian tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa standar merupakan salah satu kemajuan industri pada suatu negara.
Dari total 36 SNI produk baja tersebut, terdapat beberapa SNI yang mengalami perubahan, antara lain:
- Terdapat empat SNI yang sudah direvisi, namun belum ditetapkan secara wajib melalui Permenperin sebagai SNI Wajib, yaitu:
a. SNI 2053:2019 Baja Lembaran Lapis Seng (Bj LS),
b. SNI 4096:2019 Baja Lembaran dan Gulungan Lapis Paduan Aluminium – Seng (Bj LAS),
c. SNI 3567:2018 Baja Lembaran dan Gulungan Canai Dingin (Bj D),
d. SNI 39:2022 Pipa Baja Dengan atau Tanpa Lapisan Seng untuk Saluran Air dan Instalasi Gas. - Terdapat satu SNI yang dipecah menjadi dua, yaitu SNI 07-0601-2006 Baja Lembaran, Pelat dan Gulungan Canai Panas (Bj P) yang dipecah menjadi:
a. SNI 8522:2020 Baja Lembaran, Pelat dan Gulungan Canai Panas untuk Aplikasi Struktur Umum dan Struktur Las (Bj PS), dan
b. SNI 8784: 2019 Baja Lembaran, Pelat dan Gulungan Canai Panas Lunak (Bj PL).
Namun demikian, kedua pecahan SNI tersebut belum ditetapkan oleh Permenperin sebagai SNI Wajib. - Terdapat dua SNI yang perlu dilakukan pembaharuan, yaitu SNI 07-0954-2005 Baja Tulangan Beton Dalam Bentuk Gulungan dan SNI 07-0065-2002 Baja Tulangan Beton Hasil Canai Panas Ulang.
- Terdapat tiga SNI yang masih dalam proses pembaharuan, yaitu:
a. Kawat Baja Quens (Quench) Temper untuk Konstruksi Beton Pratekan (PC Bar/KBjP-Q)
b. Tujuh Kawat Baja Tanpa Lapisan Dipilin untuk Konstruksi Beton Pratekan (PC strand/KBjP-P7)
c. Kawat Baja Tanpa Lapisan untuk Konstruksi Beton Pratekan (PC Wire KBjP). - Terdapat lima SNI yang masih dalam proses penataan ulang menjadi dua SNI, yaitu:
a. SNI 07-2054-2006 Baja Profil Siku Sama Kaki Proses Canai Panas (Bj P Siku Sama Kaki)
b. SNI 07-0329-2005 Baja Profil I-Beam Proses Canai Panas (Bj P I-Beam)
c. SNI 07-0052-2006 Baja Profil Kanal U Proses Canai Panas (Bj P Kanal U)
d. SNI 07-7178-2006 Baja Profil WF-Beam Proses Canai Panas (Bj P WF-Beam)
e. SNI 2610:2011 Baja Profil H (Bj P H-Beam)
Kelima SNI diatas dalam proses perubahan menjadi RSNI Profil Baja Hasil Pengelasan dan RSNI Profil Baja Hasil Pencanaian. - Terdapat satu SNI yang diusulkan untuk proses abolisi, yaitu SNI 7614:2010 Baja Batangan untuk Keperluan Umum (BjKU).
- Terdapat satu SNI yang masih memadai untuk kondisi terkini, yaitu SNI 2052:2017 Baja Tulangan Beton.
Menurut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45/2022 Tentang Standarisasi Industri, semua SNI Wajib yang berlaku saat ini harus disesuaikan dengan ketentuan dalam Permenperin tersebut. Untuk menanggapi hal ini, IISIA telah menulis surat kepada Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (Dirjen ILMATE) Kemenperin tanggal 27 Maret 2022 dengan nomor 029/EKS/IISIA/III/2023.
Sementara itu, dari 19 SNI Sukarela, terdapat 10 SNI yang dapat segera diusulkan menjadi SNI Wajib serta 9 SNI lainnya perlu dilakukan pembaharuan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen.
Merujuk pada hal-hal di atas, SNI Wajib saat ini belum berlaku efektif karena SNI Wajib yang sudah direvisi belum ditetapkan sebagai Permenperin secara resmi. Selain itu, karena SNI Wajib yang sedang dalam proses revisi atau penggabungan belum resmi diberlakukan, maka SNI Wajib lama tetap berlaku meskipun sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Hal ini mengakibatkan fungsi SNI yang diharapkan menjadi technical barrier menjadi tidak terwujud.
Dengan mempertimbangkan SNI Wajib yang memiliki peran vital dalam industri domestik untuk meningkatkan daya saing, keamanan, serta keselamatan, maka IISIA mengusulkan untuk:
- Memperbanyak jumlah SNI Wajib baja dan dilakukan review pembaharuan secara periodik terhadap SNI Wajib. Hal tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan melakukan pengawasan secara konsisten.
- Menegakkan sanksi pelanggaran SNI Wajib secara tegas dan konsisten agar menimbulkan efek jera.
- Terkait keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang menyebabkan kurangnya pengawasan SNI, Menteri Perindustrian dapat menunjuk lembaga yang terakreditasi untuk melakukan pengawasan merujuk pada Permenperin Nomor 45 Tahun 2022 Tentang Standardisasi Industri.
Langkah-langkah pemerintah terhadap perlindungan industri baja saat ini sudah cukup baik. Namun demikian, untuk terus meningkatkan perlindungan terhadap pasar industri baja khususnya dengan technical barrier, ketiga usulan IISIA di atas diharapkan dapat diterapkan secara keseluruhan sehingga pasar industri baja akan semakin membaik. Dengan demikian, penerapan SNI di sektor industri baja nasional sangat penting untuk perlindungan dan keselamatan konsumen, perlindungan industri dalam negeri dari praktik impor yang curang, serta mampu mendorong upaya menciptakan iklim persaingan usaha yang lebih adil dan sehat.