Proteksionisme Industri Baja Global
Sumber: JISF, S&P Global, White House, Project Syndicate
Di tengah kondisi baja global yang mengalami kelebihan kapasitas, dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi industri baja dalam negeri dari banjirnya produk impor. Banyak negara di dunia, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, mengambil langkah proteksionisme untuk mengantisipasi masuknya produk baja murah, khususnya dari Tiongkok yang sering kali mendapat subsidi dari pemerintahnya. Bentuk proteksionisme yang paling umum diterapkan adalah trade remedies, seperti inisiasi investigasi anti-dumping (AD) dan countervailing duties (CVD) yang terlihat pada Gambar 1. Pada tahun 2020, banyak negara melakukan inisiasi investigasi AD/CVD untuk melindungi pasar domestik mereka. Meskipun jumlah inisiasi investigasi cenderung menurun seiring berjalannya waktu, hal ini tidak berarti bahwa proteksionisme melemah. Sebaliknya, masih terdapat sejumlah besar instrumen trade remedies yang tetap efektif dan berlaku selama periode tersebut. Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen berkelanjutan dari pemerintah di seluruh dunia untuk mempertahankan keseimbangan pasar domestik di tengah tekanan persaingan global yang tidak seimbang
Proteksionisme global yang meningkat untuk melindungi industri baja domestik tak terlepas dari dampak lonjakan ekspor baja Tiongkok. Ekspor baja Tiongkok, yang mencapai sekitar 10% dari produksi dunia, menghadirkan tantangan besar bagi pasar lain yang harus menyerap produk dari negara tersebut. Pasar global akan merasakan dampak lebih besar dari pertumbuhan ekspor baja Tiongkok, di mana pada kuartal keempat tahun 2023, ekspor besi dan baja Tiongkok meningkat sebesar 59,2% yoy, dan gabungan pada Januari dan Februari meningkat sebesar 34,5% yoy. Pada kuartal keempat, 30,2% dari ekspor tersebut menuju negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), termasuk Indonesia. Peningkatan ekspor ini mendorong banyak negara untuk memberlakukan langkah-langkah perlindungan guna melindungi industri baja domestik mereka dari persaingan yang tidak seimbang dan distorsi pasar akibat kelebihan pasokan baja yang disubsidi oleh pemerintah Tiongkok.
Lonjakan ekspor baja Tiongkok tidak hanya memicu proteksionisme di banyak negara, tetapi juga mendorong langkah-langkah perlindungan yang lebih keras dari Amerika Serikat (AS). Sebagai produsen baja terbesar keempat di dunia dan negara yang paling banyak menerapkan trade remedies untuk produk baja, AS berencana meningkatkan tarif bea masuk, khususnya terhadap impor dari Tiongkok, termasuk baja, aluminium, kendaraan listrik (EV), baterai, semikonduktor, dan produk medis, pengumuman ini disampaikan pada 14 Mei 2024. Tarif baru yang akan dikenakan ini tercantum dalam Section 301 Trade Act of 1974, dan terpisah dari tarif Section 232 yang sudah berlaku untuk impor baja dan aluminium. Berdasarkan Section 301, tarif untuk produk baja dan aluminium tertentu akan meningkat dari 0-7,5% menjadi 25% pada tahun 2024, di luar tarif Section 232 yang berlaku sebesar 25%. Langkah ini diambil untuk melindungi industri baja dan aluminium AS dari praktik perdagangan tidak adil oleh Tiongkok, mengingat AS terus menghadapi persaingan tidak sehat akibat kelebihan kapasitas produksi baja dan aluminium dari Tiongkok. Setelah pengumuman AS, Menteri Inovasi, Ilmu Pengetahuan, dan Industri Kanada, François-Philippe Champagne, menyatakan bahwa pemerintah Kanada mungkin akan menerapkan tarif serupa pada produk Tiongkok. Menanggapi hal ini, Tiongkok mengindikasikan akan melakukan tindakan balasan terhadap kenaikan tarif apa pun. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Lin Jian, pada 10 Mei 2024 menegaskan bahwa Tiongkok akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi hak dan kepentingannya.
Upaya proteksionisme yang dilakukan Amerika Serikat untuk melindungi industri baja domestiknya dari lonjakan ekspor baja Tiongkok diikuti oleh tindakan serupa di Uni Eropa. Uni Eropa menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang bertujuan tidak hanya untuk melindungi produsen baja dalam negerinya tetapi juga untuk mencapai tujuan iklim. CBAM mengharuskan perusahaan membayar tarif atas beberapa impor produk yang menghasilkan emisi karbon tinggi, termasuk baja. Tarif ini dihubungkan dengan harga karbon di Uni Eropa. Banyak negara yang khawatir bahwa penerapan CBAM ini akan mengganggu industri dalam negeri mereka. Sebagai respons, sejumlah negara mulai merumuskan tanggapan kebijakan terhadap CBAM. Pada Bulan Desember, Inggris, yang memiliki pasar karbon domestiknya sendiri, memutuskan untuk mengikuti langkah negara-negara di Eropa dengan mengadopsi mekanisme serupa dengan CBAM. Turki juga sedang mengembangkan pajak karbonnya sendiri, sementara Australia dan Kanada dilaporkan sedang mempertimbangkan langkah serupa.
Proteksionisme industri baja secara global terus meningkat, didorong oleh langkah-langkah berbagai negara untuk melindungi industri dalam negeri mereka. Proteksionisme ini perlu dicermati lebih lanjut karena berpotensi mengakibatkan banjir produk impor ke negara tujuan ekspor yang memiliki tingkat proteksionisme yang lebih rendah, khususnya Indonesia. Melihat angka impor yang terus meningkat (Gambar 2), khususnya dari Tiongkok, Indonesia juga perlu memperkuat langkah perlindungan untuk industri bajanya. Selama tahun 2018-2023, Tiongkok menjadi negara sumber impor produk baja terbesar ke Indonesia, dengan jumlah impor mencapai 4,16 juta ton pada 2023, yang berarti meningkat signifikan sebesar 35,4% dibandingkan tahun 2022. Saat ini, Indonesia sudah menerapkan trade remedies berupa anti-dumping dan safeguard, namun jumlahnya masih terbatas. Sejak kurun waktu 1995-2023, Indonesia hanya menerapkan 34 anti-dumping dan 11 safeguard, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain, bahkan negara ASEAN seperti Thailand, yang telah menerapkan 64 anti-dumping dan 3 safeguard. Di sejumlah negara maju yang menganut sistem perdagangan bebas, jumlah instrumen trade remedies yang dipergunakan untuk melindungi industri baja masing-masing jauh lebih tinggi. Amerika serikat menggunakan instrumen trade remedies sejumlah 347 anti-dumping, 116 countervailing duties, dan 3 safeguard; Uni Eropa sejumlah 152 anti-dumping, 16 countervailing duties, dan 2 safeguard; Kanada sejumlah 140 anti-dumping, 30 countervailing duties, dan 1 safeguard; dan Australia sejumlah 80 anti-dumping dan 11 countervailing duties. Kondisi ini menunjukkan bahwa perlindungan melalui instrumen trade remedies yang dilakukan Indonesia belum cukup untuk mengimbangi arus impor baja murah yang terus meningkat, terutama dari Tiongkok.
Lonjakan ekspor baja Tiongkok dan penerapan berbagai tarif serta mekanisme penyesuaian batas karbon oleh negara-negara maju menunjukkan bahwa langkah-langkah proteksionisme akan terus berkembang di masa depan. Dalam hal ini, intervensi pemerintah sangat penting untuk menjaga agar industri baja dalam negeri tetap dapat bersaing dengan produk impor. Selain instrumen trade remedies, industri baja juga memerlukan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan larangan terbatas impor untuk produk baja, P3DN, substitusi impor, SNI Wajib serta berbagai kebijakan lainnya untuk mendukung daya saing industri baja nasional. Tanpa dukungan yang memadai, industri baja dalam negeri berisiko mengalami tekanan yang lebih besar dari produk baja impor yang murah dan dilakukan melalui praktik perdagangan tidak adil, yang dapat mengakibatkan penurunan produksi, hilangnya lapangan kerja, dan dampak negatif lainnya pada ekonomi nasional.
***